Sunday, April 8, 2012

Ada Apa dengan Hidung


Hidung termasuk salah satu dari panca indra. Hidung juga merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Sudah seharusnya hidung mendapat perhatian lebih dari biasa.
Hidung mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai indra pencium (bau), organ inhalasi udara pada sistem pernafasan, penyaring kotoran dari udara melalui selaput lendirnya, pemberi refleks pada paru-paru, serta membantu proses saat berbicara.
Walaupun hidung terletak di pusat sepertiga tengah wajah, struktur hidung sering diabaikan dalam pembicaraan penyakit manusia. Padahal perubahan fisiologis pada hidung banyak menimbulkan rangkaian gangguan, mulai dari ketidaknyaman dan berbagai penyakit yang berlangsung sementara hingga permanen, seperti infeksi saluran pernapasan atas hingga gangguan yang mengancam nyawa, misalnya atresia koana pada bayi yang baru lahir.
Gejala penyakit hidung dapat terjadi secara lokal di daerah rongga hidung ataupun di tempat lain yang merupakan manifestasi lebih lanjut dari gangguan hidung. Gejala penyakit lokal diantaranya seperti hidung tersumbat, perdarahan, nyeri, atau gejala perubahan indra penciuman lainnya. Penyakit hidung dapat menyebabkan edema mukosa yang menjadi pemicu sakit kepala atau sebagai faktor yang turut berperan pada penyakit telinga kronik. Berikut adalah beberapa macam gangguan yang sering terjadi pada hidung.
1.      Kemasukan Benda Asing
Gangguan ini bisa berupa serpihan kertas, busa, debu, atau yang lainnya yang terhirup ke dalam rongga hidung. Gangguan ini biasanya dapat mengakibatkan pilek pada satu sisi hidung bahkan ada yang sampai mengeluarkan darah. Jika sampai infeksi, hidung akan mengeluarkan ingus yang berwarna kuning kehijauan dan berbau tidak sedap.
2.      Mimisan (Epistaksis)
Di bagian dalam hidung, terutama daerah tulang hidung depan terdapat leksus gieselbach, yaitu anyaman pembuluh darah yang dilapisi selaput lendir. Pada anak, anyaman pembuluh darah ini tipis sekali. Bila anak sering mengupil, sakit pilek terus-menerus, atau hidungnya kemasukan benda asing, daerah tersebut akan teriritasi atau terluka sehingga menjadi mimisan.
Mimisan juga bisa disebabkan oleh adanya suatu penyakit atau kelainan, seperti kanker, kelainan darah, atau yang lainnya. Umumnya, kemungkinan ini diduga terjadi bila mimisan sering terjadi pada anak yang sudah besar (usia belasan tahun). Bila terjadi mimisan, posisi anak jangan ditidurkan atau ditengadahkan kepalanya karena bisa mengakibatkan darah masuk ke saluran napas. Duduk agak mencondongkan badan ke depan, tak usah menunduk, kemudian tekan cuping hidungnya dengan kedua jari tangan, lalu minta anak untuk bernapas lewat mulut. Sambil menekan cuping hidung, kompres daerah antara hidung dan dahi dengan es yang dibungkus kain agar darah cepat membeku. Setelah 10 menit biasanya mimisan akan berhenti. Jika tidak, segera bawa anak ke dokter.
3.      Sinusitis
Sinusitis adalah penyakit akibat dari infeksi saluran napas, seperti flu yang berkepanjangan. Gejala infeksi yang disebabkan bakteri ini berupa sumbatan di hidung, keluarnya banyak ingus, dan batuk yang berulang-ulang. Bila sudah akut, sinusitis bisa disertai demam, mulut berbau, pusing, dan terkadang muncul gangguan pada mata (terasa berat dan perih). Gangguan pada mata ini berkaitan dengan anatomi di sekitar hidung yang memiliki 4 pasang sinus paranasal (terletak dekat hidung), yaitu sinus maksila yang berada di pipi, sinus frontal di dahi, sinus etmoid di dekat mata, dan sinus sfenoid.
Sinus yang ada pada anak adalah sinus etmoid yang terletak di dekat mata dan maksila yang berada di sekitar pipi. Sementara sinus di daerah lainnya, seperti di dahi dan sinus sfenoid di belakang etmoid belum berkembang.
Sinusitis dapat menjadi kronis jika batuk pilek berulang. Misalnya anak mengalami batuk pilek selama 3 bulan. Setelah itu sembuh namun tak lama kemudian batuk-pilek kembali. Upaya penyembuhan dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan selama 10-14 hari, serta fisioterapi. Pengobatan sinusitis terkesan lama karena tujuannya agar tidak ada gejala sisa. Jika tidak diobati, sinusitis bisa terus diderita hingga usia dewasa.
Komplikasi sinusitis yang banyak dikhawatirkan adalah sino-bronkhitis karena lendir yang mengalir terus-menerus dan masuk ke dalam paru-paru. Terkadang, komplikasi seperti ini tidak disadari orang tua sehingga pengobatan yang diberikan kepada anak hanya sebatas mengatasi batuk, bukan sinusitisnya. Akibatnya, batuk-batuk tersebut tidak akan sembuh dan batuk kronik pun terjadi berulang-ulang.
Hal yang harus dihindari penderita sinusitis adalah minuman dingin, berenang, asap rokok, debu, serta polusi yang dapat membuat rongga sinus bengkak. Pengobatan antibiotika dan obat lain seperti dekongestan, antihistamin, mukolitik/penghancur lendir, bahkan obat semprot atau tetes hidung dapat menjadi solusinya (pengawasan dokter).
4.      Polip Hidung
Polip merupakan benjolan lunak berwarna putih atau keabu-abuan yang tidak disertai nyeri. Polip berasal dari pembengkakan selaput lendir (mukosa) yang berisi cairan interseluler (antarsel) yang terdorong ke dalam hidung. Polip biasanya terbentuk akibat reaksi hipersensitif (alergi). Penyakit ini sering terjadi pada masa dewasa.
Pengobatan untuk polip yang masih kecil biasanya cukup dengan obat-obatan kortikosteroid yang diminum atau topikal (semprot). Sedangkan bila ukuran polip besar, pengobatan dilakukan dengan cara pengangkatan polip (operasi). Penyakit polip bisa timbul berulang-lang, maka jangan heran jika operasi polip dilakukan berulang kali.
5.      Rinitis Atrofi (Ozaena)
Rinitis atrofi (ozaena) adalah suatu penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai dengan adanya atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta berbau busuk. Rinitis atrofi sering diderita masyarakat ekonomi lemah dengan lingkungan yang buruk, terutama wanita pada usia pubertas.
Hal yang dianggap menjadi penyebab infeksi rinitis atrofi adalah bakteri Klebsiella ozanae, stafilokok, streptokok, dan Pseudomonas aeruginosa, serta defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal, dan penyakit kolagen. Bahkan, rinitis atrofi juga berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.
Keluhan yang sering ditemukan pada pasien rinitis atrofi biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
Pemeriksaan penyakit ini dapat dilakukan melalui transiluminasi, foto sinus paranasal, pemeriksaan mikroorganisme dan uji resistensi kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Fe serum, dan serologi darah. Dari pemeriksaan histopatologi akan terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi dengan jumlah berkurang dan bentuknya yang mengecil. Sedangkan pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung membesar, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau.
Pengobatan penyakit ini belum ada bentuk yang bakunya. Penataksanaan biasanya ditujukan untuk menghilangkan gejala dan penyebabnya. Pengobatan secara konservatif dapat diberikan dilakukan melalui antibiotik, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe.
6.      Rinoskleroma
Rinoskleroma adalah penyakit penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempitan rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea, dan bronkus. Rinoskleroma merupakan penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa, dan Afrika. Di Indonesia sendiri, rinoskleroma telah dilaporkan ada sejak sebelum perang dunia kedua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll (1918) di Sumatera Utara.
Rinoskleroma dapat terjadi pada semua usia. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat, dan gizi yang jelek.
Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870). Sedangkan Mikulitz berhasil menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini sehingga sel-sel ini dinamai seperti namanya. Adapun Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini, yaitu bakteri gram negatif Klebsiella rhinoscleromatis.
Rinoskleroma terbagi menjadi tiga stadium, yaitu stadium I, II, dan III. Pada stadium I gejala-gelaja yang dirasakan penderita tidak khas, seperti rinitis biasa. Dimulai dengan keluarnya cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti dengan pengeluaran cairan mukopurulen berbau busuk yang dapat mengakibatkan gangguan penciuman. Stadium II ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Pada stadium ini terjadi pertumbuhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, bisa ke arah posterior (nasofaring) maupun ke depan (nares anterior). Sedangkan pada stadium III, massa secara perlahan-lahan membentuk avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus.
Pengobatan yang dilakukan dalam mengatasi penyakit ini belum dilaporkan secara jelas dan detil. Antibiotik yang masih menjadi pilihan utama diantaranya seperti streptomisin, tetrasiklin, rifampisin, khloramphenikol, Siprofloksasin, dan Klofazimin. Selain itu, terapi steroid, radiasi, hingga pembedahan juga bisa menjadi solusi. 

oleh Rudi Haryanto

1 comment: