Saturday, April 7, 2012

MANGROVE, BUKAN HANYA PEREDAM TSUNAMI



           Bencana Tsunami yang melanda Aceh bisa jadi merupakan salah satu bencana tsunami terbesar sepanjang sejarah. Namun bencana tersebut bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Sejak awal tahun 1990 sampai sekarang tercatat telah terjadi 9 kali tsunami di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Pulau Babi, NTT, Banyuwangi dan Biak. Total korban akibat bencana tersebut termasuk di Aceh mencapai lebih dari 100.000 jiwa. Selain itu, tsunami juga menyebabkan kerusakan properti pribadi, infrastruktur, dan fasilitas publik dengan kerugian yang mencapai angka triliunan.
Berdasarkan pada historis dan peta tektonik, masih banyak daerah-daerah lain di nusantara yang rawan terkena tsunami. Secara statistik, daerah-daerah tersebut hanya tinggal menunggu giliran. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah tsunami. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi tsunami-tsunami lain yang mungkin terjadi?. Tidak lain adalah proses untuk mengurangi resiko atau dampak yang ditimbulkan. Kita pernah mendengar beberapa ahli ekologi memberikan salah satu alternatif solusinya, yaitu dengan menciptakan perlindungan pantai alami melalui hutan mangrove. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan mangrove? Apakah benar dapat mengurangi dampak terjangan tsunami? dan apakah mangrove mempunyai manfaat yang lain?

Arti dan Manfaat Mangrove


            Kata mangrove merupakan gabungan dari kombinasi bahasa Portugis ‘mangue’ dan bahasa Inggris ‘grove’. (Macneae, 1968). Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk menunjukkan spesies sekaligus komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, mangrove digunakan untuk menyatakan spesies, dan ‘mangal’ untuk menunjukkan komunitasnya. Secara ringkas, hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai, yang tergenang pasang dan bebas genangan ketika surut. Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001) menguraikan kekhasan tersebut dalam bentuk:
  1. Adaptasi terhadap kadar-kadar oksigen rendah. Hal ini menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas, yaitu bentuk cakar ayam yang mempunyai pneumetafora (Avicennia spp, Xylocarpus, dan Sonneratia spp) untuk mengambil oksigen dari udara, dan akar bertipe penyangga yang memiliki lentisel (Rhyzophora spp).
  2. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi. Spesies mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daunnya yang berfungsi untuk menyimpan garam. Daun tersebut memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
  3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dengan adanya pasang surut. Spesies mangrove mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Ada beberapa istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut hutan mangrove. Diantaranya adalah Tidal forest atau hutan pasang surut, Coastal woodland atau hutan kayu pesisir, Hutan payau (dilihat dari campuran air asin dan air tawar pada lingkungan tempat hutan mangrove berada, dan hutan bakau yang merupakan istilah umum di masyarakat. Istilah yang terakhir sebenarnya bukan merupakan istilah yang tepat, karena bakau hanyalah salah satu bagian (spesies) dari komunitas di hutan mangrove.
            Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini memiliki fungsi ekologis dan ekonomis. Manfaat ekonomisnya antar lain hasil berupa kayu dan non kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).  Fungsi ekologisnya antara lain sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal) makhluk hidup, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan/perkawinan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim miro.
 

            Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir. Ekosistem tersebut merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi. Hutan mangrove di Indonesia terdiri saja atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove bersama dengan ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang membentuk keterkaitan antara ketiganya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organic yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organic dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen sehingga tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus laut.

Peredam Tsunami

  Ekosistem pantai juga terbukti merupakan pelindung pantai alami yang dapat mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa ekosistem mangrove berhasil mereduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 dengan pengurangan energi gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule (Praktiko dkk, 2002). Beberapa studi laboratorium di Jepang juga mengindikasikan efektifitas tanaman mangrove sebagai peredam tsunami. berdasarkan simulasi model, mangrove dengan tebal sekira 150m dengan kerapatan 4 m, dapat mereduksi tinggi gelombang tsunami hingga 35% (Kongko, 2003). Berdasarkan pemantauan para ahli mangrove di India pasca bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004, daerah di Pichavaram dan Muthupet yang memiliki hutan mangrove yang rapat mengalami lebih sedikit korban jiwa dan kerusakan fasilitas disbanding daerah tanpa hutan mangrove.
           

Mangrove di Indonesia

            Sekitar 70% dari wilayah nusantara adalah lautan. Indonesia memiliki wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas ekosisten mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di seluruh dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Namun luas penyebaran mangrove tersebut terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982, menjadi sekira 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa hanya seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut menandakan terjadinya degradasi hutan mangrove sekira 200 ribu hektar per tahun. Hal ini disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak yang potensial mendatangkan keuntungan besar, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002).
            Krisis moneter di Indonesia menyebabkan pembukaan hutan mangrove semakin menjadi-jadi. Dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekira 74.000 hingga 80.000 hektar, dengan meninggalkan sisa yang cukup parah. Di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun 1998. Warga nelayan yang mengalami penurunan perolehan ikan beralih profesi menjadi perajin gula kelapa dengan memakai kayu tumbuhan mangrove sebagai bahan bakar. Kegiatan ini menambah penyusutan mangrove sebesar 0,872-1,079 meter kubik per hari.
            Pengaruh tingginya harga udang di pasaran ekspor membuat banyak pengusaha membuka dan mengembangkan industri tambak udang dengan menggunakan lahan mangrove. Berdasarkan perkiraan Ditjen Perikanan (1998), potensi hutan mangrove yang akan dibangun tambak sekira 1.211.309 ha, dengan kenaikan rata-rata pertambahan luas sekira 3,67% per tahun.  Pembukaan lahan baru dengan mengorbankan hutan mangrove juga banyak terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Proses pembukaan ini diperkirakan akan terus terjadi. Kesulitan ekonomi telah membuat masyarakat di Indonesia cenderung memilih sesuatu yang mendatangkan keuntungan secara langsung berupa materi. Selain itu, pada tataran masyarakat maupun birokrat, khususnya yang berhubungan dengan bidang kesehatan masih berkembang pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor dan merupakan sarang dari nyamuk malaria, lalat dan berbagai serangga lainnya. Mereka akan memilih Industri tambak yang lebih menggiurkan. Namun ironisnya, fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah dimana mangrove di konversi secara besar-besaran untuk budidaya tambak, tingkat kesejahteraan petani tambak sebagian besar masih dalam tahap pra-sejahtera. Hal ini diantaranya disebabkan oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengendalian hama dan penyakit akibat penurunan kualitas lingkungan yang kemungkinan besar disebabkan oleh hilangnya hutan mangrove.

                                                Proses penanaman kembali mangrove yang telah rusak

Keseimbangan Lingkungan

            Setelah menelaah fungsi dan manfaat dari hutan mengrove yang secara alami tumbuh di pesisir pantai. Jelaslah sudah bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini dalam satu keseimbangan dan keharmonisan. Manusia tentu saja diberikan hak untuk menlakukan proses pemanfaatan dan eksploitasi alam untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Namun Allah juga mengaruniakan akal bagi kita sehingga dalam kegiatan eksploitasi tersebut kita memperhatikan keberlangsungan kehidupan jangka panjang dan tidak mengganggu keseimbangan yang telah digariskan. Karena pada akhirnya manusia sendirilah yang akan menanggung akibatnya.

oleh Rudi Haryanto

1 comment: